- Warga Prabumulih dan Lahat Serahkan Dua Individu Siamang ke BKSDA Sumsel
- SERAH TERIMA BARANG BUKTI TINDAK PIDANA JUAL BELI SATWA DILINDUNGI, APRI DIDAKWA 10 BULAN PENJARA
- Rekrutmen Tenaga Kontrak BKSDA Sumsel
- KUBUNG SUNDA SUAKA GUNUNG RAYA
- 1000 Bibit Ditanam dan 24 Burung Dilepasliar di TWA Punti Kayu dalam Rangkaian Tanam Pohon Serentak
- BKSDA Sumsel Lakukan Evaluasi Pengelolaan Lima Kawasan Konservasi Bersama Para Pihak Melalui Perangkat METT
- PENGGAGALAN PENGANGKUTAN 3306 INDIVIDU SATWA BURUNG TIDAK DILINDUNGI TANPA DOKUMEN
- MENGENAL CAPUNG TWA GUNUNG PERMISAN
- Road To HKAN 2023: BKSDA Sumsel Lepasliarkan Empat Individu Satwa Liar dan Tanam Pohon di SM Padang Sugihan
- KRONOLOGI BERUANG MATI OLEH MASYARAKAT DI PAGAR ALAM UTARA, BKSDA SUMSEL BERI IMBAUAN TEGAS
RAGAM ODONATA DI BELANTARA KOTA
Oleh : Octavia Susilowati
Indonesia dikenal sebagai negara “mega biodiversity” dengan kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi geografi Indonesia yang terletak diantara 2 benua, Asia dan Australia. Posisi ini membuat Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Dan salah satu diantaranya adalah dari kelompok serangga yang masuk dalam ordo Odonata.
Capung dikelompokkan ke dalam ordo Odonata. Odonata artinya rahang bergigi di bagian ujung labium (bibir bawah) terdapat tonjolan (spina) tajam menyerupai gigi Capung termasuk kelompok serangga purba yang bertahan hidup dalam berbagai perubahan jaman. Hal ini menunjukkan bahwa capung adaptif terhadap perubahan lingkungan. Capung merupakan Flagship Species yang menjadi predator teratas dalam rantai makanan di ekosistem perairan (Buchori et al. 2019). Sensitivitas 6ymereka terhadap kondisi perubahan lingkungan membuat capung sangat baik sebagai indikator biologis kondisi lingkungan yang berubah. Hubungan capung dengan habitatnya sangat erat kaitannya dengan kepentingan fungsional mereka dalam ekosistem, dan hubungannya dengan spesies dan sumber daya lainnya. Capung dewasa mencolok dengan warna-warna yang beragam, mudah diamati, dipelajari dengan baik secara taksonomi dan rentan terhadap perubahan habitat yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Warna mencolok pada capung bukan sebagai penciri utama suatu spesies. Karakteristik capung dapat dilihat dari bentuk tubuh, sayap dan embelan (anal appendeges).
Jumlah Odonata di dunia mencapai 5.680 dan jenis Odonata di Indonesia mencapai 900 species atau sekitar 15% dari populasi yang ada di dunia (Wardhana, 2016). Kemudian Widjaja et al. (2014), menyatakan bahwa keanekaragaman capung di Indonesia diperkirakan mencapai 1.287 jenis dengan catatan 24 jenis endemik. Jumlah ini diperbaharui oleh Indonesia Dragonfly Society (IDS) dalam Jambore Capung III pada tahun 2019 menjadi sejumlah 1.126 spesies. Odonata yang telah ditemukan di seluruh dunia berjumlah 29 Famili (Hanum et al., 2013). Odonata dibagi menjadi dua sub ordo yaitu sub ordo Zygoptera dan sub ordo Anisoptera (Lino et al. 2019).
Baca Lainnya :
- Workshop Rencana Pemulihan Ekosistem SM Dangku, SM Bentayan dan SM Padang Sugihan0
- Tebar Pesona Kantong Semar Gunung Maras0
- GPS COLLAR SEBAGAI ALAT ALTERNATIF STUDI PERGERAKAN HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae0
- BKSDA Sumsel Serahkan Bantuan Pengembangan Usaha kepada Masyarakat Sekitar TN Gunung Maras0
- MENGUAK PESONA GUA RIMBA PASEMAH0
Sumber: Puslit Biologi LIPI (2014) dalam Widjaja et al. (2014)
Keberadaan capung jarum sebagai salah satu serangga yang ada di bumi Nusantara sepertinya dianggap kurang “seksi” bila dibandingkan satwa jenis lain. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa dilindungi, dari sekian banyak jenis serangga yang ada, yang masuk di dalam perlindungan hanyalah dari jenis kupu-kupu. Sementara capung jarum dan jenis lain yang memiliki peran di dalam keseimbangan ekologi belum mendapatkan perhatian khusus. Peran capung jarum yang perlu diketahui antara lain sebagai bioindikator pencemaran lingkungan dan agen pengendali hayati (predator hama).
Buchori et al. (2019) menyatakan bahwa capung tidak hanya digunakan sebagai bioindikator perairan bersih, akan tetapi capung dewasa juga merupakan indikator yang bagus untuk melihat perubahan kompleks suatu lanskap. Tingkat keanekaragaman capung dan komposisi jenis pada masing-masing habitat dipengaruhi oleh kondisi tutupan vegetasi. Terdapat hubungan antara kondisi tutupan vegetasi dan komposisi jenis capung, yang mempengaruhi keberadaan dan sebaran capung dalam suatu habitat, dan dapat digunakan untuk menggambarkan kesehatan lingkungan terestrial non akuatik.
Berdasarkan data dari Data Capung Indonesia (2019) dalam Buchori et al. (2019), jenis capung yang ada di Sumatera tercatat sebanyak 294 spesies, yang terdiri dari 123 jenis capung jarum (Zygoptera) dan 171 merupakan jenis capung biasa (Anisoptera). Jenis capung jarum terdiri dari Argiolestidae (3 jenis), Calopterygidae (8 jenis), Chlorocyphidae (20 jenis), Coenagridae (49 jenis), Devadattidae (1 jenis), Euphaeidae (7 jenis), Lestidae (4 jenis), Philosinidae (2 jenis), Platycnemididae (21 jenis), dan Platystictidae (8 jenis). Jumlah ini bertambah dari data sebelumnya yang didasarkan atas penelitian M. Liefthinck (1948) yang menyatakan bahwa jumlah capung Sumatera tercatat sebanyak 242 jenis, yang terdiri dari 97 jenis sub ordo Zygoptera (Dragonfly) dan 145 jenis sub ordo Anisoptera (Damselfly). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa 44 jenis diantaranya merupakan spesies endemik Pulau Sumatera, termasuk Pulau Bangka, Belitung, dan pulau-pulau kecil lainnya seperti Pulau We, Enggano, Simeleu, Nias, Mentawai (Buchori et al. 2019).
Buchori et al. (2019) menyatakan temuan di wilayah Lanskap Sembilang Dangku sejumlah 89 spesies capung. Dari 89 jenis tersebut, 58 jenis ditemukan di habitat yang terbuka dan 2 diantaranya merupakan jenis baru yaitu Libellago dorsocyana dan Pseudothemis jorina. Sementara di habitat yang relatif tertutup ditemukan 31 spesies, 1 diantaranya merupakan jenis endemik Sumatera yaitu Copera imbricata.
Penelitian terkait ordo Odonata di wilayah Sumatera Selatan belum banyak dilakukan. Terdapat beberapa hasil penelitian yang menyatakan adanya temuan jenis baru di wilayah Sumatera Selatan. Hal ini sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Temuan Odonata di Sumatera Selatan
Keberadaan capung jarum di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu berhasil diidentifikasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Sriwijaya Fakultas MIPA jurusan Biologi menunjukkan bahwa Punti Kayu menyimpan keragaman jenis capung jarum. Total jenis capung jarum yang berhasil diidentifikasi adalah sebanyak 15 jenis yang terbagi ke dalam 4 famili yaitu famili Gomphidae, Libelluidae, Lestidae dan Coenagrionidae. Keragaman capung jarum di wilayah TWA Punti Kayu yang berhasil diidentifikasi disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Keragaman capung jarum TWA Punti Kayu
Sumber : Agustina (2015) dan www.iucnredlist.org
Keterangan : TD (Tidak Dilindungi); LC = Least Concern (resiko rendah); NE= Not Evaluated (belum dievaluasi); VU = Vulnerable (rentan)
Dari keseluruhan jenis yang berhasil diidentifikasi tersebut, 13 jenis diantaranya masuk ke dalam IUCN Redlist meskipun tidak dalam kategori kelangkaan tingkat tinggi atau resiko kepunahannya rendah. Selain itu, Podolestes coomansi yang masuk dalam IUCN Redlist dengan status Vulnerable (rentan) merupakan spesies yang terakhir kali ditemukan di Sumatera pada tahun 1930an. Hal ini memberikan pengetahuan baru bagi kita bahwa spesies ini ternyata masih tetap menunjukkan perannya di dalam ekosistem wilayah Sumatera, Selatan khususnya di kawasan TWA Punti Kayu.
Status perlindungan berdasarkan daftar kelangkaan suatu spesies yang dikeluarkan IUCN setidaknya memberikan gambaran kepada kita semua tentang kondisi populasi spesies tertentu yang ada di dunia. Kini tinggal bagaimana kita mulai menyikapi itu semua. Jangan sampai daftar kelangkaan spesies dalam IUCN semakin panjang dan tingkat kepunahan spesies semakin tinggi sehingga meningkatkan pula status perlindungannya. Demikian pula halnya dengan keberadaan capung jarum yang ada di Punti Kayu.
Jenis capung jarum dari Famili Gomphidae (Ictinogomphus decoratus)
Keberadaan capung jarum di TWA Punti Kayu yang berada di wilayah perkotaan, tepatnya di Kota Palembang menunjukkan bahwa kondisi kawasan TWA Punti Kayu masih menjadi habitat yang penting bagi jenis capung (Odonata), khususnya capung jarum (Zygoptera). Dengan ditemukannya kembali jenis capung jarum Podolestes coomansi di TWA Punti Kayu memberikan pengetahuan bahwa jenis ini ternyata masih mampu bertahan di wilayah Kota Palembang, setelah sebelumnya ditemukan oleh M.A. Lieftinck pada tahun 1939.
Keberadaan Capung dari Famili Coenagrionidae di kawasan TWA Punti Kayu: Agriocnemis femina (a);
Copera ciliata (b)
Capung merupakan serangga purba yang sudah ada sejak 300 juta tahun yang lalu, dan tetap masih bertahan melewati perubahan jaman. Hal ini menunjukkan kemampuan adaptif dari capung terhadap perubahan lingkungannya.
Jenis capung dari Famili Libelluidae yang ditemukan di kawasan TWA Punti Kayu: Orthethrum sabina (a); Acisoma panorpoides male (b); Brachydiplax chalybea (c ); Tholymis tillagra (d); Neurothemis fluctuans (e ); Orthetrum testaceum (f); Aethriamanta aethra (g); Rhyothemis phyllis (h)
Capung-capung yang sensitif terhadap perubahan tutupan vegetasi seperti beberapa golongan capung jarum (Zygoptera) dari famili Coenagridae, Platycnemididae, dan capung besar (Anisoptera) famili Aeshnidae merupakan jenis yang bisa digunakan sebagai penanda kualitas habitat terestrial, karena jenis-jenis tersebut membutuhkan tutupan vegetasi sedang hingga rapat, jika tutupan vegetasi mengalami perubahan atau alih fungsi, keberadaan jenis-jenis tersebut akan hilang (Buchori et al. 2019). Di kawasan TWA Punti Kayu juga ditemukan beberapa jenis capung jarum dari Famili Coenagridae yaitu Agriocnemis femina, Ceriagrion auranticum, Copera ciliata, Onychargia atrocy, dan Pseudagrion microcephalum. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas habitat di TWA Punti Kayu masih cukup baik, dengan kerapatan vegetasi yang cukup rapat dan sesuai sebagai habitat jenis-jenis capung dan jenis lainnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Suhonen et al. (2010) dalam Pujiastuti et al. (2017) menyatakan bahwa keberadaan capung jarum dipengaruhi oleh kualitas habitat.
Capung memiliki nilai konservasi yang bermanfaat bagi masyarakat luas, yaitu sebagai indikator untuk mengetahui seberapa baik kualitas habitat di lingkungan yang mereka tempati. Di beberapa Negara seperti Jepang, Afrika Selatan, Singapura, dan Jepang, capung telah dijadikan sebagai subyek konservasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Berkaca dari hal tersebut, kedepan capung dapat dimasukkan dalam peta arahan konservasi, mengingat bahwa capung khususnya capung jarum memiliki berbagai peran penting dalam lingkungan, seperti indikator kesehatan air, pemangsa bagi serangga hama pengganggu tanaman, serta menjaga kestabilan ekosistem pertanian (Burchori et al. 2019). Hilangnya Odonata di suatu lingkungan mengindikasikan bahwa lingkungan tersebut, khususnya wilayah perairan terganggu. Konservasi serangga dari Ordo Odonata, khususnya dari sub ordo Zygoptera (capung jarum) di wilayah TWA Punti Kayu diharapkan akan memberikan gambaran terhadap upaya pengelolaan kawasan konservasi yang perlu dilakukan kedepan sehingga lingkungan TWA Punti Kayu tetap terjaga, tidak hanya sebagai paru-paru Kota Palembang, tapi juga sebagai habitat dari tumbuhan dan satwa liar.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina M. 2015. Laporan Kerja Praktek Keragaman Odonata di Taman Wisata Alam Punti Kayu Sumatera Selatan. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya. [tidak dipublikasikan].
Buchori D., Ardian D., Salaki LD., Pirnanda D., Agustina M., Pradana EW., Rahadi W.S., Nazar L. 2019. Capung Kelola Sendang: Mengumpulkan yang terserak, Merawat yang tersisa. Zoological Society of London.
Pujiastuti Y., Windusari Y., Agus M. 2017. The distribution and composition of Odonata (Dragonfly and Damselfly) in Sriwijaya University, Inderalaya Campus South Sumatera. Journal of Biological Researches 23 (1)