PENTINGNYA SOCIAL CAPITAL DALAM RANGKA PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

By Admin BKSDA Sumsel 22 Sep 2022, 19:43:13 WIB Halo #kancerimbe
PENTINGNYA SOCIAL CAPITAL DALAM RANGKA PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

Penulis : Yoni Adi Pranoto, SH

Polisi Kehutanan Pertama BKSDA Sumatera Selatan

Dalam 10 (sepuluh) cara baru pengelolaan kawasan, nomor 1 yang tertulis adalah Masyarakat Sebagai Subyek, artinya dalam pengelolaan kawasan, masyarakat menjadi salah satu pelaku utama dalam berbagai model pengelolaan kawasan, seperti contoh pengembangan daerah penyangga, revitalisasi ekonomi masyarakat sekitar kawasan, pengendalian dan pencegahan kebakaran hutan, patroli kawasan, restorasi kawasan, penanggulangan konfik satwa, dll. Masyarakat yang dimaksud dalam hal ini tentu tidak hanya individu perorangan semata, akan tetapi masyarakat yang terorganisasi dalam kelompok, baik itu kelompok masyarakat, kelompok tani, Masyarakat Peduli Api, dll. Tujuan dibentuk kelompok tersebut adalah untuk membangun nilai-nilai kebersamaan, dalam pengelolaan kawasan nantinya diharapkan akan muncul semangat kegotongroyongan, kerjasama, pembelajaran bersama, bahkan tanggung jawab bersama.

Baca Lainnya :



Dengan kita menerapkan cara pengelolaan tersebut, manfaat yang didapat dari kita selaku pemangku kawasan di tingkat tapak adalah, kita jadi memiliki apa yang disebut dengan social capital, atau yang biasa kita sebut sebagai Modal Sosial. Definisi dari Modal Sosial menurut Piere Bordeieu seorang pakar sosiolog dari École des Hautes Études en Sciences Sociales Paris Perancis, adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat yang saling terkait, yang didasarkan pada nilai kepercayaan norma-norma dan jaringan sosial. Dengan kata lain, dalam mengelola kawasan dan mencapai tujuan pengelolaan kawasan kita tidak bisa sendiri, perlu mensinergikan antara tugas dan fungsi kita dengan potensi sosial, norma dan nilai masyarakat yang tumbuh dengan didasari rasa saling percaya dan terbuka.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana penerapan Modal Sosial ini dalam tugas dan fungsi kita sebagai pemangku kawasan, dalam tulisan ini penulis ingin menjelaskan secara praksis berdasarkan pengalaman di lapangan. Berikut adalah cara membentuk modal sosial yang bisa diterapkan sebagai seorang pemangku kawasan di tingkat tapak, antara lain

  1. Menjalin jejaring sosial dengan stakeholder di lingkup masyarakat (desa) sekitar kawasan, seperti tokoh masyarakat, tokoh pemuda, sesepuh, dll. Hal ini penting dilakukan sebagai seorang pemangku kawasan untuk membangun komunikasi dan koordinasi dengan berbagai tokoh sekitar. Prinsipnya adalah tokoh masyarakat dan masyarakat sekitar kawasan adalah pemegang 40% informasi terkait kawasan, baik itu informasi tentang historis, informasi tentang sosial sekitar kawasan, budaya masyarakat sekitar kawasan. Informasi-informasi penting inilah yang harus dimiliki oleh seorang pemangku kawasan di tingkat tapak.
  2. Menjalin koordinasi dengan aparat setempat. Di tingkat tapak biasanya kawasan kita banyak berbatasan dengan teritori dan wilayah tertentu, baik itu desa maupun kecamatan, dan wilayah tersebut pasti ada aparat setempat yang memangku, jika di tingkat kecamatan ada jajaran Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA), sedangkan di tingkat desa ada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pentingnya menjalin koordinasi dengan aparat setempat sangat dibutuhkan ketika terjadi problem di tingkat tapak, semisal kebakaran hutan dan lahan, konflik satwa. Keterlibatan aparat setempat dalam setiap kegiatan juga akan sangat membantu, mengingat mereka juga memiliki sumberdaya dan potensi. Selain itu tugas mereka juga linier dan bersentuhan langsung dengan masyarakat, sehingga hal ini sangat efektif apabila antara pemangku kawasan terjalin komunikasi dan koordinasi yang erat dengan aparat setempat.
  3. Berdayakan potensi pendidikan setempat. Dunia pendidikan tidak bisa diabaikan begitu saja dalam setiap penyelesaian masalah, baik itu pendidikan formal, maupun non formal. Peran organisasi pendidikan di tingkat tapak sangat dibutuhkan. Di tingkat tapak banyak kita temui institusi pendidikan seperti sekolah, madrasah, kelompok belajar, pesantren dll. Peran tenaga pendidik bisa membantu untuk mentransfer ilmu kepada peserta didik terkait pentingnya menjaga kelestarian alam, kelestarian hutan dan keanekaragaman hayatinya, bisa dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran maupun dengan kegiatan edukatif lainnya (kampanye, jambore, perlombaan dll), dengan cara seperti ini, secara tidak langsung kita sedang menyiapkan potensi modal sosial dari berbagai generasi, khususnya generasi usia sekolah.
  4. Rutin membangun dialog dengan kelompok masyarakat, baik mereka yang tidak berkaitan dengan kawasan, maupun mereka yang berkaitan dengan kawasan. Sebagai seorang pemangku kawasan harus bisa membangun atmosfer komunikasi yang penuh dengan kekeluargaan, kesetaraan, kebersamaan, dan tanpa sekat, bentuknya bisa bermacam-macam, tidak perlu formal dan bisa dimodifikasi, semisal dengan anjangsana, obrolan warung kopi, obrolan di saung atau teras rumah. Apabila situasi ini sudah terbangun, tentu antara petugas di lapangan dengan kelompok masyarakat akan timbul rasa nyaman, saling percaya, dan keterbukaan, biasanya solusi, ide, dan gagasan akan muncul dengan sendirinya, output yang dihasilkan dari dibangunnya dialog tersebut akan menjadi milik bersama, kesepakatan bersama.
  5. Jalin Kemitraan Strategis antara institusi pemangku kawasan dengan kelompok masyarakat. Dalam tahap ini biasanya antara kedua belah pihak sudah ada kata sepakat dalam rangka pengelolaan kawasan, kesepakatan tersebut biasanya tertuang di dalam klausul perjanjian kerjasama secara tertulis, pihak dari masyarakat sudah terlembagakan dan teroganisir secara resmi dalam bentuk kelompok masyarakat, ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua beah pihak. Bentuk menjalin mitra di tingkat tapak sangat bervariatif, ada yang dalam bentuk kemitraan revitalisasi ekonomi masyarakat, kemitraan yang bersifat padat karya, kemitraan dalam rangka pemulihan ekosistem, dan yang terakhir ada namanya kemitraan konservasi.
    Dengan adanya kelembagaan di tingkat masyarakat dan ditopang dengan perjanjian tertulis, tentunya social capital yang dimiliki oleh pemangku kawasan sudah sangat kuat, artinya masyarakat yang telah menjadi mitra ini sewaktu-waktu sudah siap untuk dilibatkan di setiap kegiatan dalam rangka pengelolaan kawasan, pemulihan kawasan, penanganan bencana dan konflik satwa, dan semua kegiatan yang bersifat konservasi

Manfaat yang didapat dari modal sosial dalam rangka pengelolaan kawasan antara lain

  1. Meningkatkan partisipasi masyarakat, seperti pada tujuan utama dalam 10 (sepuluh) langkah baru mengelola kawasan, yaitu masyarakat harus memiliki peran aktif, artinya dengan adanya modal sosial ini, peran masyarakat akan sangat menjadi penting di setiap penyelesaian masalah maupun mencari gagasan terkait pengelolaan kawasan, dan kita sebagai petugas lapangan akan sangat terbantu dengan turut serta masayarakat secara bersama-sama menjaga kawasan
  2. Memungkinkan antara pemangku kawasan dan masyarakat memecahkan masalah-masalah bersama dengan mudah, solusi yang tercipta akan lahir dari buah pemikiran-pemikiran yang dinamis dan tanpa merugikan pihak manapun
  3. Menumbuhkan rasa saling percaya dalam hubungan sosial untuk mewujudkan gagasan-gagasan dan kesepakatan bersama khusunya dalam rangka pengelolaan kawasan
  4. Memungkinkan terciptanya jaringan kerjasama sehingga mudah untuk mendapatkan informasi di tingkat tapak

Pengelolaan kawasan akan efektif terwujud dengan memberdayakan modal sosial, karena modal social memiliki nilai penting antara lain: Pertama, Kepercayaan (Trust), dibangunnya rasa saling percaya antara kedua belah pihak akan melahirkan kesepakatan untuk saling membangun kerjasama baik dengan kelompok masyarakat, maupun stakeholder setampat. Kedua, pranata sosial yang berlaku (Norm), norma yang saling dipahami antara kedua belah pihak akan melahirkan sikap saling menghargai, setiap keputusan yang diambil akan disepakati secara bersama dan demi kebaikan bersama. Ketiga, adanya hubungan timbal balik (Reciprocity), hubungan timbal balik inilah yang nanti akan melahirkan sikap bahwasannya masalah yang terjadi adalah masalah bersama, harus saling membantu, harus saling menguatkan dan saling memotivasi untuk mencapai tujuan bersama.
Untuk melihat seberapa besar pengaruh modal sosial dalam pengelolaan kawasan konservasi. Secara garis besar, modal sosial akan memberikan pengaruh positif bagi efektifitas pengelolaan kawasan konservasi dalam jangka panjang

Referensi :
Francis Fukuyama, Social Capital and Development: The Coming Agenda, Santiago Chile, 2001.

Pierre Bourdieu, The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241-258). New York: Greenwood, 1986.

Robert Putnam, Democracies in Flux: The Evolution of Social Capital in Contemporary Society, New York: Oxford University Press, 2002.









Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment