KUPAS TUNTAS BELANGKAS
Oleh: Octavia Susilowati

By Admin BKSDA Sumsel 10 Mar 2023, 17:24:18 WIB Fauna
KUPAS TUNTAS BELANGKAS

Belangkas atau yang dikenal sebagai ketam tapal kuda (horseshoe crab) merupakan satwa purba dari bangsa Xiphosura yang masih tetap bertahan hidup di dunia hingga saat sekarang. Belangkas masuk dalam Famili Limulidae yang terdiri dari 4 (empat) jenis Arthropoda, serta menempati perairan dangkal pada wilayah payau dan kawasan mangrove. Dari keempat jenis belangkas, hanya jenis Limulus polyphemus yang tidak dijumpai di wilayah perairan Indonesia. Limulus polyphemus merupakan jenis ketam tapal kuda atau belangkas yang berasal dari Pantai Timur Amerika Utara (Almendral & Schoppe 2005; Cartwright et al. 2011; Lee & Morton 2005 dalam Fauziyah et al. 2019), yang berbeda dengan tiga spesies belangkas lain yang menempati wilayah perairan Asia Tenggara.

Limulus polyphemus mengalami penurunan populasi sebagai akibat dari pemanenan yang berlebihan dan hilangnya habitat perkembangbiakan (Smith et al. 2017 dalam Vestbo et al. 2018). Belangkas jenis ini digunakan secara komersial dalam pengobatan yaitu untuk menguji apakah obat, produk darah, dan perangkat farmasi bebas dari kontaminasi bakteri. Gauvry (2015) dalam Vestbo et al. (2018) menyatakan bahwa setelah dilakukan pengambilan zat dari dalam tubuh Limulus polyphemus, spesies ini akan segera dilepaskan. Hal berbeda dilakukan terhadap spesies Tachypleus gigas dan Tachypleus tridentatus yang umumnya digunakan untuk produksi kitin setelah pengumpulan hemolymph, sehingga pemanenan spesies ini menghasilkan kematian 100%.


Baca Lainnya :

Karena sifatnya yang monogamus, belangkas dijadikan sebagai simbol kesetiaan dan kelanggengan rumah tangga bagi pasangan suami istri di kalangan suku Jawa. Orang Jawa menyebut mimi untuk yang berjenis kelamin jantan dan mintuna untuk jenis kelamin betina.

Di wilayah perairan Indonesia ada 3 jenis belangkas yaitu belangkas besar (Tachypleus gigas), belangkas tiga duri (Tachypleus tridentatus) dan belangkas padi (Carcinospius rotundicauda). Dan sejak tahun 2018, tiga jenis belangkas tersebut dinyatakan sebagai jenis satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/12/2018. Sebelumnya hanya jenis Tachypleus gigas yang dinyatakan sebagai satwa dilindungi. 

Dengan penetapan ketiga jenis belangkas yang berada di wilayah perairan Indonesia sebagai jenis satwa dilindungi, maka pemanfaatan terhadap jenis belangkas tersebut dinyatakan sebagai aktivitas ilegal apabila tidak mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia. Sebelum ditetapkannya ketiga jenis belangkas sebagai satwa dilindungi, masih marak terjadi perdagangan baik untuk tujuan konsumsi maupun untuk pemenuhan kebutuhan biomedis yang dilakukan oleh masyarakat. Pengetahuan masyarakat awam terhadap jenis belangkas yang dilindungi masih minim sehingga sering terjadi pengambilan dari alam. Sebelum tahun 2018, jenis belangkas yang dilindungi hanya Tachypleus gigas dan masyarakat awam tidak dapat membedakan jenis belangkas yang mereka tangkap tersebut apakah jenis dilindungi atau tidak. Meilana (2020) menyatakan bahwa di wilayah perairan Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi terjadi penurunan populasi belangkas sebagai akibat kebiasaan penduduk lokal memakan belangkas dewasa. Strategi manajemen yang baik dan efektif dalam konservasi belangkas perlu segera disusun untuk mencegah satwa ini dari kepunahan.

Tabel 1. Jenis Belangkas di Dunia



Berdasarkan data The International Union for Conservation of Nature's Red List of Threatened Species (IUCN), jenis belangkas yang masuk dalam satwa terancam punah adalah jenis Tachypleus tridentatus yaitu dengan status genting (Endangered) dan jenis Limulus polyphemus yang berstatus rentan (Vulnerable) karena trend populasinya di alam mengalami penurunan. Sementara dua jenis lainnya masih belum dinyatakan sebagai satwa yang mengalami keterancaman kepunahan dan berdasar data IUCN masuk dalam kategori Data Deficient. Untuk jenis Carcinoscorpius rotundicauda, status Data Deficient pertama kali dipublikasikan oleh IUCN pada tahun 1996. Kajian terhadap keberadaannya di alam terus diupayakan untuk mengetahui status populasinya. Dengan demikian upaya-upaya dalam pencegahan penurunan populasi dapat dilakukan, sehingga belangkas dapat terhindar dari kepunahan.

John et al. (2017) menyatakan bahwa tiga jenis belangkas di wilayah perairan Asia mengalami ancaman yang serius sebagai akibat terjadinya degradasi habitat, pencemaran lingkungan, eksploitasi berlebihan untuk kuliner dan biomedis. Pada dekade terakhir telah terjadi peningkatan permintaan belangkas dari industri biomedis, untuk jenis Tachypleus gigas, Tachypleus tridentatus dan Limulus polyphemus. Pemanfaatan lestari berkelanjutan dari jenis belangkas perlu diterapkan melalui pembatasan pengambilan dari alam agar tidak terjadi over eksploitasi.


Keempat jenis belangkas yang ada di dunia sampai dengan saat ini belum masuk dalam daftar CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), sehingga perdagangan internasional jenis ini masih berjalan tanpa adanya pembatasan jumlah pemanfaatan. Apabila tidak dilakukan pembatasan pengambilan dari alam, dikhawatirkan jenis belangkas akan segera mengalami kepunahan dalam waktu dekat. Kedepan perlu disusun rencana aksi konservasi jenis belangkas, tidak hanya di wilayah Indonesia tetapi juga negara-negara lain yang wilayah perairannya menjadi habitat bagi jenis belangkas.

Wilayah sebaran belangkas di Indonesia diketahui meliputi perairan Sumatera Kalimantan, Kepulauan Riau, Jawa, Madura, dan Sulawesi (Sekiguchi et al.1981). Untuk wilayah Sumatera Selatan habitat belangkas ada di perairan Banyuasin. Jenis belangkas yang ditemukan adalah Tachypleus gigas dan Carsinoscorpius rotundicauda (Fauziyah et al. 2019).



Belangkas telah dimanfaatkan sejak dahulu baik untuk konsumsi maupun kajian biomedis dan lingkungan. Ekstrak plasma darah belangkas digunakan untuk mendiagnosis penyakit meningitis dan gonore yang banyak digunakan di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Asia Barat. Namun dengan telah masuknya satwa ini dalam daftar satwa yang dilindungi, pemanfaatan belangkas harus dibatasi agar kelestariannya di alam dapat terjaga.

Darah belangkas diketahui memiliki kemampuan mendeteksi bakteri, dimana di dalam darahnya mengandung lisat amebosit yang berperan penting dalam deteksi endotoksin bakteri. Carcinoscorpius rotundicauda memiliki potensi besar dalam aspek farmasi yaitu bahan bioaktif dan antibakteri (Asih et al. 2018). Hasil penelitian Sari (2021) menunjukkan bahwa Carsinoscorpius rotundicauda jantan dan betina, serta Tachypleus gigas jantan mampu mendeteksi endotoksin bakteri.

Studi tentang belangkas Asia terus meningkat di Jepang, Cina dan India pada dekade terakhir (Botton et al 2015 dalam Erwyansyah et al. 2018). Sementara di Indonesia, penelitian mengenai belangkas masih terbatas. Beberapa penelitian dilakukan terhadap jenis Tachypleus tridentatus yaitu distribusi di Pantai Utara Jawa dan Selatan Madura (Meilana 2015; Mashar et al. 2017 dalam Erwyansyah et al. 2018); morfometri di Pantai Utara Jawa, serta Sungai Nipas dan Air Bangis Sumatera Barat (Meilana 2015; Sumarmin et al. 2017 dalam Erwansyah et al. 2018) serta pola sebaran dan taksonomi secara genetik (Erwansyah et al. 2018).

Sementara di Sumatera Selatan penelitian dilakukan terhadap jenis Tachypleus gigas dan Carcinoscorpius rotundicauda. Beberapa penelitian yang dilakukan antara lain mengenai deteksi endotoksin bakteri (Sari 2021), sebaran belangkas (Hidayattullah 2020), serta morfometri Carcinoscorpius rotundicauda (Fauziyah et al. 2019).



Dengan mulai dilakukannya berbagai penelitian mengenai jenis belangkas, maka kedepan diharapkan akan tersedia data dan informasi yang dapat digunakan IUCN untuk melakukan penilaian terhadap status konservasi belangkas, terutama bagi jenis belangkas dengan status Data Deficient yaitu jenis Tachypleus gigas dan Carcinoscorpius rotundicauda. Pihak CITES diharapkan memberikan perhatian dengan menetapkan keempat jenis belangkas ke dalam Appendix CITES sehingga dapat melindungi belangkas dari perdagangan internasional yang mengancam kelestariannya. Perlindungan tiga jenis belangkas di wilayah Indonesia melalui penetapan sebagai satwa dilindungi diharapkan akan meningkatkan jumlah populasi di alam sehingga tujuan kelestarian jenis belangkas dapat tercapai.

Upaya sosialisasi mengenai jenis belangkas yang masuk dalam kategori dilindungi berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia perlu dilakukan secara masif. Hal ini untuk mencegah tindakan ilegal dalam pemanfaatannya. Pemanfaatan jenis belangkas bukan merupakan suatu hal yang diharamkan apabila telah memenuhi persyaratan sesuai aturan yang berlaku di Indonesia, misalnya melalui penangkaran. Dengan demikian, upaya konservasi terhadap jenis belangkas di wilayah perairan Indonesia dapat berjalan sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan, yaitu tercapainya kelestarian jenis belangkas di alam.

DAFTAR PUSTAKA

Asih, E. N. N., Kawaroe, M., & Bengen, D. G. 2018. Biomaterial compounds and bioactivity of horseshoe crab Carsinoscorpius rotundicauda biomass harvested from the Madura Strait. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 141, No. 1, p. 012004). IOP Publishing.

Erwyansyah, Wardiyatno Y., Kurnia R., Butet N.A. 2018. Kepastian Taksonomi dan Sebaran Belangkas Tachypleus tridentatus di perairan Balikpapan Timur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol 10 (3): 547-559.

Fauziyah, Putri W.A.E, Purwiyanto A.I.S, Agustriani F., Mustopa A.Z, Fatimah. 2019. The Morphometric Variability of the Mangrove Horseshoe Crab (Carcinoscorpius rotundicauda) from Banyuasin Estuarine of South Sumatra, Indonesia. Ecologica Montenegrina (24): 38 – 46.

Hidayattullah A.R. 2020. Peta Sebaran Belangkas (Horseshoe Crabs) sebagai Spesies yang dilindungi di Perairan Banyuasin, Sumatera Selatan. [skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya. Inderalaya.

John B.A., Nelson B.R., Sheikh H.I., Cheung S.G., Wardiatno Y., Dash B.P., Tsuchiya K., Iwasaki Y., Pati S. 2017. A Review on Fisheries and Conservation Status of Asian Horseshoe Crabs. Biodiversity and Conservation.

Sari N.P. 2021. Efektivitas Metode Clot dan Chromagonic pada Uji Bakteri Endotoksin menggunakan Darah Horsechoe Crab Asal Banyuasin Sumatra Selatan. [skripsi]. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sriwijaya. Inderalaya.

Sekiguchi K., Ayodhyoa, Nakamura K., Yamasaki T., Sugita H., Shishikura F. 1981. Geogrpahic Distribution of Horseshoe Crabs in Indonesian Seas. Japanese Society of Systemic Zoology No 21.

Vestbo S., Obst M., Fernandez F.J.Q., Intanai I., Funch P. 2018. Present and Future Potential Distribution of Asian Horseshoe Crabs Determine Areas for Conservation. Frontiers in Marine Science Vol 5:164.





Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment